BerandaKumpulanOpini24 Tahun Otonomi Tanjungpinang, PAD Setengah Mati, Rakyat Setengah Hidup

24 Tahun Otonomi Tanjungpinang, PAD Setengah Mati, Rakyat Setengah Hidup

Oleh: Budi Prasetyo Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Kota Tanjungpinang

Tanjungpinang (eska) – Dua puluh empat tahun sudah Kota Tanjungpinang berdiri sebagai daerah otonom, memisahkan diri dari kabupaten induk dengan harapan besar untuk menjadi pusat peradaban, ekonomi, dan pemerintahan di Kepulauan Riau.

Namun, perayaan hari otonomi ke-24 ini seolah menjadi cermin panjang yang memantulkan kenyataan pahit, tidak ada peningkatan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Kota ini berjalan, tetapi tidak melaju. Hidup, tetapi tak bergairah.

Otonomi daerah sejatinya memberi ruang bagi pemerintah kota untuk berkreasi, berinovasi, dan menata dirinya sesuai potensi lokal. Namun dua dekade lebih berlalu, Tanjungpinang justru terjebak dalam lingkar stagnasi yang berkepanjangan.

Potensi besar di bidang pariwisata, perdagangan, jasa, dan budaya maritim seolah mandek di atas kertas tanpa terjemahan nyata dalam kebijakan yang menumbuhkan ekonomi rakyat.

PAD yang Kerdil, Ekonomi yang Runtuh

Salah satu indikator paling gamblang dari lemahnya tata kelola daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tak kunjung beranjak.

Hingga kini, PAD Kota Tanjungpinang hanya mampu mencapai kisaran 50 persen dari target keseluruhan yang di targetkan daerah.

Artinya, separuh kemampuan fiskal kota ini masih bergantung pada bantuan pusat sebuah paradoks yang menyedihkan bagi ibu kota provinsi.

Keterbatasan PAD bukan sekadar soal angka, tapi soal mentalitas dan orientasi pembangunan. Tanjungpinang gagal menggali potensi riil yang dimilikinya dari sektor wisata sejarah, pelabuhan internasional, perdagangan antarnegara, hingga sektor jasa yang bisa menghidupkan perekonomian warga. Pemerintah seolah terjebak dalam rutinitas administratif, tanpa arah visi ekonomi yang jelas dan berkelanjutan.

Akibatnya, denyut ekonomi lokal terasa lemah. Pasar tradisional semakin sepi, usaha kecil menggeliat tanpa arah, dan tingkat pengangguran terselubung meningkat. Di tengah kota yang seharusnya menjadi wajah modernisasi Kepri, banyak warga justru merasakan kemunduran ekonomi dan peluang kerja yang kian menipis.

Baca Juga:  Generasi Z: Mencetak Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia

Pemimpin Baru, Arah Lama

Pergantian kepemimpinan yang seharusnya menjadi titik awal perubahan, ternyata belum menampakkan hasil nyata. Pemimpin baru Tanjungpinang masih berkutat pada retorika pembangunan tanpa peta jalan konkret untuk mengangkat kesejahteraan rakyat.

Program-program populis yang sempat dijanjikan masih sebatas wacana, sementara problem dasar seperti tata kota yang semrawut, kemacetan, dan lambannya birokrasi masih menghantui warga setiap hari.

Lebih dari itu, pola kepemimpinan yang masih berpusat pada seremonial daripada kinerja substantif membuat Tanjungpinang kehilangan arah. Tidak ada gebrakan besar, tidak ada inovasi nyata, dan tidak ada reformasi birokrasi yang mampu menyalakan kembali semangat masyarakat. Tanjungpinang butuh pemimpin yang bukan hanya pandai bicara, tetapi juga berani memutus rantai ketidakberdayaan struktural.

Kesejahteraan yang Tak Kunjung Turun ke Rakyat

Pertanyaan paling mendasar dalam dua puluh empat tahun otonomi adalah, apakah rakyat Tanjungpinang kini lebih sejahtera? Jawabannya, sayangnya, tidak. Indikator kesejahteraan seperti daya beli, akses pendidikan berkualitas, dan pemerataan infrastruktur masih jauh dari ideal. Wajah kota boleh berubah dengan trotoar baru atau taman kota yang diperindah tapi substansi kesejahteraan rakyat belum tersentuh.

Kesenjangan sosial semakin terasa. Sementara elit politik dan birokrasi masih nyaman dalam zona aman kekuasaan, masyarakat di pinggiran kota seperti Kampung Bugis, Senggarang, dan Dompak masih bergulat dengan persoalan klasik, air bersih, pekerjaan, dan akses pelayanan publik. Ini bukan hanya soal kurangnya anggaran, tapi soal arah kebijakan yang tidak berpihak.

Refleksi 24 Tahun, Saatnya Berhenti Berpesta, Mulai Bekerja

Momentum 24 tahun otonomi seharusnya bukan dirayakan dengan pesta seremonial dan pidato panjang, melainkan dengan refleksi dan perhitungan jujur, di mana sebenarnya posisi Tanjungpinang hari ini?

Baca Juga:  STAIN SAR Kepri: Mercusuar Pendidikan Tinggi di Bumi Segantang Lada

Kota ini pernah menjadi pusat peradaban Melayu, titik awal sejarah kerajaan, dan pelabuhan penting di jalur perdagangan nusantara. Kini, identitas itu memudar, tergantikan oleh kebingungan arah pembangunan dan kegagalan manajemen daerah.

Sudah saatnya pemerintah kota meninjau ulang seluruh prioritasnya. PAD yang stagnan harus diatasi dengan terobosan baru, bukan dengan menaikkan pajak rakyat kecil, tetapi dengan menciptakan ekosistem ekonomi yang hidup, menarik investasi produktif, menghidupkan UMKM, dan mengelola aset daerah secara profesional. Tanjungpinang juga perlu menata tata ruangnya dengan visi jangka panjang, bukan tambal sulam kebijakan setiap pergantian wali kota.

Tanjungpinang Harus Bangkit, atau Tenggelam dalam Sejarahnya Sendiri

Otonomi bukanlah hadiah, melainkan tanggung jawab. Dan selama dua puluh empat tahun, Tanjungpinang belum berhasil membuktikan dirinya sebagai kota yang mandiri dan menyejahterakan rakyat.

Jika tidak ada perubahan besar dalam arah kepemimpinan dan strategi pembangunan, Tanjungpinang akan terus menjadi ibu kota yang hanya hidup dari masa lalu, bukan menatap masa depan.

Rakyat tidak butuh seremoni, mereka butuh solusi. Tanjungpinang tidak butuh pidato, ia butuh perubahan nyata. Dua puluh empat tahun sudah cukup untuk belajar, kini saatnya untuk benar-benar bekerja. (*)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments