Oleh: Dimas Septyawan-Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Jakarta (eska) – Setiap tahun, gema takbir menggema mengiringi salah satu ritual agung umat Islam: Qurban. Di balik penyembelihan hewan ternak yang lahiriah, terhampar makna mendalam yang kerap luput dari perhatian.
Qurban bukan sekadar ritual, bukan pula tradisi yang berlalu begitu saja setiap Idul Adha. Ia adalah simbol pengorbanan, ketulusan, dan kepekaan sosial yang semestinya menggugah setiap nurani.
Dalam bahasa Arab, Qurbān bermakna “dekat” atau “mendekatkan diri”—kepada siapa lagi jika bukan kepada Sang Pencipta. Namun sesungguhnya, makna Qurban tidak hanya menegaskan relasi vertikal manusia dengan Allah SWT, tetapi juga menyapa ranah horizontal: hubungan antarmanusia.
Qurban mengajarkan kita untuk peduli, berbagi, dan merasakan denyut nadi kehidupan sesama yang mungkin tak seberuntung kita. Inilah pesan spiritual yang membumi.
NU Online pernah menegaskan bahwa Qurban adalah wujud pengabdian dan penghambaan yang tulus. Namun, Qurban juga sarana untuk menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial.
Momen Idul Adha, dengan kepulan asap sate dan tumpukan daging di meja, semestinya menjadi pengingat bahwa ada tangan-tangan kecil yang menggigil menunggu sepotong daging untuk sekadar mengenyangkan perut. Di sinilah letak keagungan Qurban—bukan hanya melatih keikhlasan, tetapi juga menumbuhkan rasa empati yang kian tergerus zaman.
Qurban sejatinya adalah lentera motivasi. Ketika kita menyerahkan yang terbaik dari rezeki kita untuk dikurbankan, kita sesungguhnya tengah menundukkan ego. Qurban memampukan kita untuk keluar dari kubangan individualisme, menyingkirkan kerak keserakahan, dan belajar menjadi insan yang lebih peduli.
Seperti ditegaskan oleh NU Online, salah satu tujuan Qurban adalah “menggembirakan kaum fakir pada Hari Raya Idul Adha”. Bukankah ini potret Islam yang penuh kasih?
Bahkan, lebih jauh lagi, Qurban memanggil kita untuk bercermin: sejauh mana kita rela berkorban demi kebaikan yang lebih besar? Apakah kita sudah ikhlas dalam menanggalkan ego demi kemaslahatan bersama?
Apakah kita sudah cukup peka untuk memahami jerit hati mereka yang terlupakan? Momen penyembelihan Qurban seolah menjadi cermin yang memantulkan kembali wajah keikhlasan kita. Di balik daging yang terhidang, ada pelajaran tentang rendah hati dan pengabdian yang tulus.
Sosiolog Dr Siti Nurjanah menyebutkan bahwa aktivitas sosial seperti Qurban menumbuhkan semangat kebersamaan dan memperkuat jalinan sosial. Kita menyaksikan bagaimana daging Qurban mendatangkan senyum bahagia bagi keluarga yang selama ini kesulitan menikmati hidangan bergizi.
Momen itu bukan hanya memberi manfaat material, tetapi juga membangkitkan semangat solidaritas dan mempererat ikatan kemanusiaan.
Lebih dari sekadar ritual tahunan, Qurban semestinya menjadi energi positif yang menyala sepanjang tahun. Ibadah ini bukan hanya soal memotong hewan, tetapi juga soal memotong keegoisan kita. Bukan hanya soal memberi daging, tetapi juga soal memberi perhatian, kasih sayang, dan kepedulian pada sesama.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi, bahwa “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban)…” Maka, sudah sepatutnya kita memaknai Qurban bukan sebagai seremoni kosong, melainkan sebagai momentum spiritual yang menyentuh kehidupan sosial kita.
Mari kita jadikan semangat Qurban bukan hanya berhenti pada tiga hari Tasyrik, tetapi terus berdenyut dalam setiap langkah kehidupan. Mari kita buktikan bahwa Qurban bukan sekadar ritual, melainkan cerminan jiwa yang penuh cinta dan kepedulian.(***)
Recent Comments